Waktu kecil, makanan favoritku adalah telur mata sapi. Disajikan dengan nasi hangat, kecap manis, dan sedikit taburan bawang goreng, hidangan sederhana yang bisa bikin aku bahagia seharian.
Saking sukanya, ada satu masa di mana ibuku sampai muak masak telur mata sapi. Katanya,
“Makan yang lain kek, masa tiap hari telur mata sapi terus?”
Tapi aku tetap bersikukuh. Telur mata sapi adalah segalanya.
Kenapa suka banget? Aku sendiri nggak tahu pasti. Tapi entah kenapa, dari kecil aku suka membayangkan kalau telur mata sapi itu seperti kehidupan. Bagian putihnya aku anggap sebagai masa-masa sulit, dan bagian kuningnya adalah simbol kebahagiaan.
Nggak ada alasan logis kenapa putih itu sedih dan kuning itu bahagia. Mungkin karena kuning lebih enak aja sih. Hehe.
Karena keyakinan itu, setiap makan aku punya ritual sendiri. Aku selalu makan bagian putihnya dulu, bagian yang menurutku paling hambar. Lalu, di akhir, baru aku nikmati bagian kuning yang gurih dan lembut. Dalam pikiranku, hidup itu seperti pribahasa: bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.
Namun, satu hari aku terlalu fokus pada proses menuju “kebahagiaan”. Aku makan putihnya banyak-banyak, bahkan sama nasi pun kuhabiskan dulu, biar nanti di akhir bisa puas banget makan kuning telurnya.
Tapi ternyata… aku malah keburu kenyang.
Saat tiba di momen yang kutunggu-tunggu, lidahku udah nggak bisa menikmati apa-apa. Rasa kuning telur yang biasanya aku sukai jadi hambar karena aku terlalu sibuk “berjuang” di awal.
Dari situ aku belajar sesuatu yang sederhana tapi penting:
Kalau terlalu sibuk mengejar akhir yang bahagia, kita bisa lupa menikmati perjalanan yang sedang dijalani. Padahal, bisa jadi justru di situlah letak rasa sesungguhnya.
Hidup bukan cuma soal hasil akhir, tapi juga tentang bagaimana kita menikmati setiap gigitannya, meski itu cuma bagian putih dari telur mata sapi.
Dari situ aku mulai berpikir: mungkin, hidup nggak harus selalu dibagi antara susah dulu dan senang belakangan. Mungkin kita bisa nikmati keduanya… bersamaan.
Mungkin, makan putih dan kuning bareng-bareng juga nggak apa-apa. Atau makan kuning telur dulu juga nggak apa kok. 😌
Karena hidup juga kayak gitu: susah dan senang nggak selalu datang terpisah. Kadang bercampur, datang di waktu yang sama. Dan justru di sanalah letak rasanya—manis, asin, hambar, gurih, semua jadi satu.
Jadi, pelajaran yang bisa diambil?
Ga semua cerita harus ada yang dipelajari, tapi semoga cerita kali ini ada ya 😩
Intinya, Bahagia nggak harus ditunda sampai “nanti”.
Kadang, kita bisa memilih untuk menikmatinya sekarang juga, meski hanya sepotong kuning telur di tengah nasi hangat.
Update menjelang usia 30:Sekarang, aku lebih suka makan telur mata sapi dengan cara dicampur, putih dan kuningnya berdampingan, dinikmati bersama. Nggak lagi dipisah-pisah. Mungkin karena akhirnya sadar, hidup nggak selalu tentang menunggu giliran bahagia… tapi tentang menerima dan menikmati semuanya, bersamaan.