Cerita Antrian, Panas, dan Bunga Rajut di Petaling Street
8:23 PMPagi itu, sekitar pukul 9, aku keluar dari penginapan dengan satu tujuan: sarapan enak di tengah kawasan China Town, Kuala Lumpur. Seperti banyak pelancong lainnya, aku pun punya daftar kuliner wajib coba, dan salah satu yang dari awal sudah masuk wishlist adalah Hainanese Chicken Rice dari How Kow Chicken Rice. Katanya, tempat ini legendaris dan sudah bertahun-tahun jadi favorit banyak orang, baik turis maupun warga lokal.
Antrian Panjang di How Kow
Tapi begitu sampai di lokasi, aku langsung terpaku melihat kenyataan: antriannya sudah mengular panjang, membentuk zig-zag di sepanjang trotoar. Orang-orang berdiri sabar, sebagian tampak sudah bersiap dengan kipas tangan, dan beberapa bahkan membawa bekal minuman dingin, sebuah pertanda bahwa mereka tahu betul ini akan menjadi penantian panjang.
Aku berdiri sebentar di dekat papan menu yang menggoda selera, menimbang-nimbang apakah worth it untuk menunggu. Tapi perutku sudah mulai ribut sejak tadi, dan antrian itu tidak bergerak secepat harapanku. Akhirnya, dengan berat hati aku memutuskan untuk mundur dan mencari opsi lain. Lagipula, ini artinya masih ada alasan untuk kembali ke Kuala Lumpur di lain waktu, kan?
Menjelajah Sudut Petaling Street
Daripada berkutat dalam kekecewaan, aku memilih untuk memutar suasana dengan menjelajah kawasan Petaling Street yang ramai dan berwarna. Meski matahari pagi sudah mulai menyengat, suasana di jalan ini selalu menyenangkan. Petaling Street bukan hanya tempat wisata, tapi juga sebuah percampuran sejarah, budaya, dan modernitas yang berjalan beriringan.
Fasad-fasad toko bergaya Chinese heritage berdiri berjajar rapi di kiri dan kanan. Beberapa masih mempertahankan bentuk aslinya dari puluhan tahun lalu, lengkap dengan jendela kayu, balkon kecil, dan atap genteng klasik. Aku memang selalu punya ketertarikan dengan bangunan tua dan kisah di baliknya.
Di sepanjang jalan, penjual suvenir, kerajinan tangan, baju-baju kasual, dan aksesori khas KL menyapa dengan senyum ramah. Beberapa toko menjual teh bunga kekwa dan permen herbal khas Cina, ada juga yang menjajakan gantungan kunci, magnet kulkas, dan kaos bertuliskan "I ♥ KL".
Coba Menuju Kim So Bean – Tapi Gagal Lagi
Setelah berjalan-jalan sebentar dan memotret beberapa detail arsitektur yang menarik, aku kembali merasa lapar. Tujuanku berikutnya adalah Kim So Bean, sebuah kedai kecil yang terkenal dengan menu tahu dinginnya dan bubur kacang merah. Tempat ini juga termasuk dalam daftar cadangan kalau-kalau How Kow tidak memungkinkan.
Sayangnya, saat aku tiba di sana, skenarionya hampir sama: antrian panjang, meja penuh, dan suasana sibuk. Sepertinya aku datang di jam yang tidak tepat, atau memang ini risiko utama saat menjelajahi spot-spot kuliner viral di tempat wisata: semua orang ingin mencoba, dan semua orang datang bersamaan.
Moral of the Story: Hindari Tempat Viral Saat Lapar Berat
![]() |
mandatory selfie, kalau lagi solo travel! |
Dari dua kegagalan ini, aku jadi belajar satu hal penting: kalau kamu sudah lapar banget, hindari dulu tempat yang viral. Apalagi kalau sedang di kawasan wisata populer seperti China Town. Sering kali, rasa lapar justru membuat kita jadi kurang sabar, padahal tempat-tempat terkenal ini hampir selalu punya antrian. Lebih baik datang ke sana saat masih agak pagi atau menjadikannya agenda santai sore hari.
Solusi Cepat: Kaya Toast di Kafe Terdekat
Akhirnya, demi menyelamatkan mood dan perut, aku memutuskan masuk ke sebuah kafe kecil di pojok jalan yang tidak terlalu ramai. Menunya simpel: kaya toast, roti bakar isi selai kelapa dan mentega. Walaupun bukan menu berat, tapi cukup menyenangkan bisa duduk sebentar di tempat yang adem dan tenang, jauh dari hiruk-pikuk antrian.
Petaling Street di Tengah Terik
Setelah makan, aku kembali berjalan kaki menyusuri Petaling Street. Meskipun cuaca cukup terik, suasana di jalan tetap meriah. Banyak pedagang mulai membuka payung-payung besar, menjual aneka barang: dari jam tangan KW, dompet kulit, sampai ke tas berlogo-logo mewah (yang tentu saja imitasi).
Tapi yang membuatku berhenti adalah sebuah toko kecil yang menjual kerajinan tangan. Di etalasenya, aku melihat bunga-bunga rajut warna-warni yang menarik perhatian. Ada yang berbentuk mawar, daisy, dan bunga matahari.
Aku masuk dan langsung jatuh hati pada sunflower crochet, bunga matahari rajut kecil berwarna kuning cerah dengan tangkai hijau yang lucu. Aku membeli dua, meskipun sekarang aku agak menyesal tidak beli lebih banyak. Rasanya akan menyenangkan jika aku bisa menaruh beberapa di vas kecil di meja kerja atau menjadikannya hadiah kecil untuk teman.
Ruang di Antara Bangunan Tua
Satu hal yang menarik dari Petaling Street adalah bagaimana ruang-ruangnya tetap terasa hidup meski berada di tengah kota besar. Gang-gang kecil di antara bangunan tua sering kali menyembunyikan kejutan: bisa berupa kafe mungil, toko teh, bahkan tempat pijat refleksi kaki.
Aku sempat masuk ke satu gang sempit dan menemukan sebuah mural cantik di dinding. Warna-warnanya cerah, menggambarkan keseharian masyarakat lokal: pedagang kaki lima, anak-anak bermain, dan penjual teh tarik. Rasanya seperti menemukan oase visual di tengah hiruk pikuk pasar.
Catatan Kecil Buat Diri Sendiri
Perjalanan ke Petaling Street hari itu mungkin tidak berjalan sesuai ekspektasi awal, tidak jadi makan nasi Hainan, gagal juga coba tahu manis khas Kim So Bean. Tapi tetap saja, hari itu membawa cerita yang berbeda. Tentang sabar, tentang menikmati suasana tanpa terburu-buru, dan tentang keindahan yang bisa ditemukan di tempat sederhana seperti bunga rajut kecil.
Aku juga menyadari bahwa kadang-kadang, momen tak terencana justru lebih berkesan. Kalau saja aku memaksakan diri menunggu di antrian panjang, mungkin aku tidak akan sempat melihat toko kerajinan itu, tidak akan beli bunga matahari kecil itu, dan tidak akan sempat berlama-lama menikmati suasana di Petaling Street.
Tips untuk Kamu yang Mau ke Petaling Street:
- Datang lebih pagi – Kalau kamu berniat mencoba tempat makan terkenal, datang sebelum jam 9 mungkin bisa menyelamatkan kamu dari antrian panjang.
- Bawa payung atau topi – Terik matahari bisa cukup menyengat di siang hari. Jangan lupa juga bawa air minum.
- Jangan terpaku sama tempat viral – Kadang tempat kecil yang tak terkenal justru punya pengalaman unik yang lebih personal.
- Sempatkan masuk gang kecil – Siapa tahu kamu bisa menemukan mural indah atau kafe tersembunyi.
- Siapkan uang tunai secukupnya – Beberapa pedagang tidak menerima pembayaran digital.
Meski awalnya hanya ingin sarapan nasi Hainan, kunjunganku ke Petaling Street berubah menjadi perjalanan kecil yang menyenangkan—penuh warna, cerita, dan kejutan-kejutan manis. Kalau kamu suka suasana pasar, arsitektur tua, dan sedikit elemen kejutan dalam traveling, maka Petaling Street bisa jadi tempat yang pas untuk kamu eksplorasi.
0 komentar